SUBJEK
HUKUM
CONTOH
KASUS MENGENAI “ ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN”
Nama : Novia Santika Rosi
Kelas : 2EB13
Npm : 25211237
Perkawinan
campuran telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat.
Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan
stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang
Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur
perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain
adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis,
berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena.
Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja
dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah
seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan
baik dalam perundang-undangan di indonesia.
Dalam
perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :
”Yang dimaksud dengan perkawinan
campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.” Selama hampir setengah abad pengaturan
kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan
warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring
berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan
para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan
anak. Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan
yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu
yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja
timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi
kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.
Persoalan
yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah
kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip
kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran
hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan
bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini
menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah,
tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.
Dengan
lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana
pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran,
berikut komparasinya terhadap UU Kewarganegaraan yang lama. Secara garis besar
perumusan masalah adalah sebagai berikut : Bagaimana pengaturan status hukum
anak yang lahir dari perkawinan campuran sebelum dan sesudah lahirnya UU
Kewarganegaraan yang baru? Apakah kewarganegaraan ganda ini akan menimbulkan
masalah bagi anak?
ANAK SEBAGAI SUBJEK HUKUM
Definisi
anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah
: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.”
Dalam hukum perdata, diketahui bahwa
manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP
memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek
hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan
hidup.Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban
dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak
dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau
kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan
pasal 1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum
dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan.
Dengan demikian anak dapat dikategorikan
sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang
tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam
melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki
kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga
tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan
yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU
Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk
dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada
dua yurisdiksi hukum.
PENGATURAN MENGENAI ANAK DALAM PERKAWINAN CAMPURAN
A.
Menurut Teori Hukum Perdata Internasional
Menurut
teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan
antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai
persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak
memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah,
sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan
hukum dengan ibunya.
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan
termasuk status personal. Negara-negara common law berpegang pada prinsip
domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas
(ius sanguinis). Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah
sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara
sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan
kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak
maritalnya.Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan
di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok
negara-negara sosialis.
Dalam
sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada
sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua
anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua
terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama.
Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun
1958.
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi
kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun
dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam
perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan
anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih
dibawah umur.
B.
Menurut UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958
1. Permasalahan dalam perkawinan
campuran
Ada dua bentuk perkawinan campuran dan
permasalahannya:
a. Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah
dengan Wanita Warga Negara
Indonesia (WNI)
Indonesia (WNI)
Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958,
seorang perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa
kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan
keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan
tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin
memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang
ditentukan bagi WNA biasa. Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia
bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena
satu dan lain hal( faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan
pendidikan,dll) maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan.
b. Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang
menikah dengan Pria Warga Negara Indonesia (WNI)
Indonesia menganut azas kewarganegaraan
tunggal sehingga berdasarkan pasal 7 UU No.62 Tahun 1958 apabila seorang
perempuan WNA menikah dengan pria WNI, ia dapat memperoleh kewarganegaraan
Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan
asalnya. Permohonan untuk menjadi WNI pun harus dilakukan maksimal dalam waktu
satu tahun setelah pernikahan, bila masa itu terlewati , maka pemohonan untuk
menjadi WNI harus mengikuti persyaratan yang berlaku bagi WNA biasa.Untuk dapat
tinggal di Indonesia perempuan WNA ini mendapat sponsor suami dan dapat
memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan memerlukan
biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal maka ia akan
kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia menjadi tidak jelas
Setiap kali melakukan perjalanan keluar negri memerlukan reentry permit yang
permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsor.Bila suami meninggal tanah
hak milik yang diwariskan suami harus segera dialihkan dalam waktu satu tahun.Seorang
wanita WNA tidak dapat bekerja kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan
sponsor suami hanya dapat bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai
istri/ibu dari WNI, perempuan ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan
rumah tangga.
2. Anak hasil perkawinan campuran
Indonesia menganut asas kewarganegaraan
tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1)
UU No.62 Tahun 1958 :
“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum
kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah
itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh
kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di
Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu
tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh
kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini,
anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan
bisa menjadi warganegara asing :
1. Menjadi warganegara Indonesia
Apabila anak tersebut lahir dari
perkawinan antara seorang wanita warga negara asing dengan pria warganegara
Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak
mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak
terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami meninggal
dunia dan anak anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi
wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang
berstatus pegawai negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat
memperoleh pensiun suami.
2. Menjadi warganegara asing
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan
antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara asing.Anak
tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus
dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal
Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak
murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh
anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang
ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang
masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal
ini sulit dilakukan.
Masih terkait dengan kewarganegaraan
anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga
mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan
hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah).
Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang
belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabilaanak
tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).
C.
Menurut UU Kewarganegaraan Baru
1. Pengaturan Mengenai Anak Hasil
Perkawinan Campuran
Undang-Undang kewarganegaraan yang baru
memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang
dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak
mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan
(apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam
Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.
Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak,
maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya
hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan
anak menjadi hilang.
2. Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil
Perkawinan Campuran
Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari
perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari
perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga
negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah
anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya.Pernyataan
untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah
anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini
merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan
campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan
menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki
kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem hukum perdata
internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia
menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B.
(mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil
Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk
status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar
negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya ,
tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia,
sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam
wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang
hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi
indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan
perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan
perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.
Bila
dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga
memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang
didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada
ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu
dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana
bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu
pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana.
Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada
ketentuan negara yang lain.
Sebagai
contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat
materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia
18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil
harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formilmengikuti hukum tempat
perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri
(hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum
Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan
hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan,
lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.
Hal tersebut yang tampaknya perlu
dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional sehubungan
dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis berpendapat karena undang-undang
kewarganegaraan ini masih baru maka potensi masalah yang bisa timbul dari
masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian para ahli hukum perdata
internasional.
3. Kritisi terhadap UU Kewarganegaraan
yang baru
Walaupun banyak menuai pujian, lahirnya
UU baru ini juga masih menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satu pujian
sekaligus kritik yang terkait dengan status kewarganegaraan anak perkawinan
campuran datang dari KPC Melati (organisasi para istri warga negara asing).
“Ketua KPC Melati Enggi Holt mengatakan,
Undang-Undang Kewarganegaraan menjamin kewarganegaraan anak hasil perkawinan
antar bangsa. Enggi memuji kerja DPR yang mengakomodasi prinsip dwi
kewarganegaraan, seperti mereka usulkan, dan menilai masuknya prinsip ini ke UU
yang baru merupakan langkah maju. Sebab selama ini, anak hasil perkawinan
campur selalu mengikuti kewarganegaraan bapak mereka. Hanya saja KPC Melati
menyayangkan aturan warga negara ganda bagi anak hasil perkawinan campur hanya
terbatas hingga si anak berusia 18 tahun. Padahal KPC Melati berharap aturan
tersebut bisa berlaku sepanjang hayat si anak.
Penulis kurang setuju dengan kritik yang
disampaikan oleh KPC Melati tersebut. Menurut hemat penulis, kewarganegaraan
ganda sepanjang hayat akan menimbulkan kerancuan dalam menentukan hukum yang
mengatur status personal seseorang. Karena begitu seseorang mencapat taraf
dewasa, ia akan banyak melakukan perbuatan hukum, dimana dalam setiap perbuatan
hukum tersebut, untuk hal-hal yang terkait dengan status personalnya akan
diatur dengan hukum nasionalnya, maka akan membingungkan bila hukum nasional
nya ada dua, apalagi bila hukum yang satu bertentangan dengan hukum yang lain.
Sebagai contoh dapat dianalogikan sebagai berikut :
“Joko, pemegang kewarganegaraan ganda,
Indonesia dan Belanda, ia hendak melakukan pernikahan sesama jenis. Menurut
hukum Indonesia hal tersebut dilarang dan melanggar ketertiban hukum, sedangkan
menurut hukum Belanda hal tersebut diperbolehkan. Maka akan timbul kerancuan
hukum mana yang harus diikutinya dalam hal pemenuhan syarat materiil perkawinan
khususnya.”
Terkait dengan persoalan status anak,
penulis cenderung mengkritisi pasal 6 UU Kewarganegaraan yang baru, dimana anak
diizinkan memilih kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah.
Bagaimana bila anak tersebut perlu sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan
sebelum menikah, karena sangat terkait dengan penentuan hukum untuk status
personalnya, karena pengaturan perkawinan menurut ketentuan negara yang satu
ternyata bertentangan dengan ketentuan negara yang lain. Seharusnya bila memang
pernikahan itu membutuhkan suatu penentuan status personal yang jelas, maka
anak diperbolehkan untuk memilih kewarganegaraannya sebelum pernikahan itu
dilangsungkan. Hal ini penting untuk mengindari penyelundupan hukum, dan
menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di suatu
negara.
KESIMPULAN
Anak
adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga
harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan
status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru,
memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya,
karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil
perkawinan campuran.
UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai
pujian dan juga kritik, termasuk terkait dengan status anak. Penulis juga
menganalogikan sejumlah potensi masalah yang bisa timbul dari kewarganegaraan
ganda pada anak. Seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum, UU
Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus dikritisi oleh
para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi
masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar