CONTOH
KASUS HUKUM EKONOMI MENGENAI
“PRODUK
AJINOMOTO HALAL ATAU HARAM?”
Nama :
Novia Santika Rosi
Kelas :
2EB13
NPM :
25211237
Pemerintah memutuskan untuk menarik produk Ajinomoto:
Bumbu Masak Sajiku dan Masako selambat-lambatnya tiga minggu sejak 3 Januari
2001. PT Ajinomoto Indonesia dinilai melanggar Undang-undang Perlindungan
Konsumen. Untuk mengetahui lebih jelas soal masalah ini, Rosianna Silalahi
mewawancarai Direktur Lembaga Pengkajian Pengawasan Makanan dan Obatan-obatan
Majelis Ulama Indonesia Profesor Aisjah Girindra di Studio SCTV, Jumat (5/1)
siang. Menurut Aisjah, PT Ajinomoto sengaja mengubah bahan nutrisi pengembangbiakan
kultur bakteri dari polypeptone menjadi bactosoytone alias enzim
babi. Seharusnya, perusahaan penyedap makanan asal Jepang itu melaporkan
perubahan itu. Wajar jika MUI berang. Melihat gelagat kurang baik itu tak
menutup kemungkinan MUI melakukan upaya hukum.
Aisjah yang juga Guru Besar Institut Pertanian Bogor itu mengatakan, Ajinomoto telah mendapatkan Sertifikat Halal dari LP POM MUI sejak 1998. Setiap dua tahun sekali, sertifikat tersebut harus diperbarui. Termasuk, tambah dia, melaporkan perubahan atau penggantian nutrisi. Ternyata persyaratan tersebut tak dipenuhi manajemen Ajinomoto. "Perusahaan baru mengaku setelah LP POM MUI mengadakan penelitian," kata Aisjah. Padahal, dalam perjanjian, lanjut Aisjah, perusahaan wajib mengangkat auditor internal yang khusus memeriksa status halal produk. Namun, baik perusahaan maupun auditor sama-sama lalai. Kendati demikian, LP POM MUI meyakinkan masyarakat bahwa produk sebelum Juni 2000 masih halal. Sebab, manajemen Ajinimoto mengaku merubah zat nutrisi tersebut sejak Juni. Buntut dari kasus itu, Lembaga Konsumen Indonesia mengadukan PT Ajinomoto Indonesia ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Lembaga pelindung konsumen itu menilai, Ajinomoto telah menipu masyarakat. Pasalnya, produsen bumbu masak tersebut mencantumkan label halal pada produk yang mengandung enzim babi. Keterangan ini dikemukakan ketua dan anggota YLKI, Indah Sukmaningsih serta Tari kepada wartawan, setelah diterima staf Pelayanan Masyarakat Polda Metro Jaya, Kamis (4/1). Sementara itu, Rabu, Direktur Jenderal POM Departemen Kesehatan H. Sampurno, memerintahkan manajemen Ajinomoto menarik sejumlah produk yang diproduksi mulai 13 Oktober hingga 24 November dari pasaran. Penarikan tersebut harus dilakukan selambat-lambatnya tiga pekan mendatang.
Menurut Sampurno, keputusan tersebut diambil setelah MUI mengeluarkan fatwa tertanggal 16 Desember 2000. Menanggapi itu, manajemen Ajinomomoto mengaku belum menerima keputusan tersebut. Lantaran itu, mereka belum menarik produk dari pasaran. Berdasarkan pengamatan di sejumlah pasar di Jakarta, para pedagang mengakui Fatwa MUI masih belum mempengaruhi penjualan produk Ajinomoto. Mereka memperkirakan bahwa masyarakat belum mengetahui perintah tersebut.
Aisjah yang juga Guru Besar Institut Pertanian Bogor itu mengatakan, Ajinomoto telah mendapatkan Sertifikat Halal dari LP POM MUI sejak 1998. Setiap dua tahun sekali, sertifikat tersebut harus diperbarui. Termasuk, tambah dia, melaporkan perubahan atau penggantian nutrisi. Ternyata persyaratan tersebut tak dipenuhi manajemen Ajinomoto. "Perusahaan baru mengaku setelah LP POM MUI mengadakan penelitian," kata Aisjah. Padahal, dalam perjanjian, lanjut Aisjah, perusahaan wajib mengangkat auditor internal yang khusus memeriksa status halal produk. Namun, baik perusahaan maupun auditor sama-sama lalai. Kendati demikian, LP POM MUI meyakinkan masyarakat bahwa produk sebelum Juni 2000 masih halal. Sebab, manajemen Ajinimoto mengaku merubah zat nutrisi tersebut sejak Juni. Buntut dari kasus itu, Lembaga Konsumen Indonesia mengadukan PT Ajinomoto Indonesia ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Lembaga pelindung konsumen itu menilai, Ajinomoto telah menipu masyarakat. Pasalnya, produsen bumbu masak tersebut mencantumkan label halal pada produk yang mengandung enzim babi. Keterangan ini dikemukakan ketua dan anggota YLKI, Indah Sukmaningsih serta Tari kepada wartawan, setelah diterima staf Pelayanan Masyarakat Polda Metro Jaya, Kamis (4/1). Sementara itu, Rabu, Direktur Jenderal POM Departemen Kesehatan H. Sampurno, memerintahkan manajemen Ajinomoto menarik sejumlah produk yang diproduksi mulai 13 Oktober hingga 24 November dari pasaran. Penarikan tersebut harus dilakukan selambat-lambatnya tiga pekan mendatang.
Menurut Sampurno, keputusan tersebut diambil setelah MUI mengeluarkan fatwa tertanggal 16 Desember 2000. Menanggapi itu, manajemen Ajinomomoto mengaku belum menerima keputusan tersebut. Lantaran itu, mereka belum menarik produk dari pasaran. Berdasarkan pengamatan di sejumlah pasar di Jakarta, para pedagang mengakui Fatwa MUI masih belum mempengaruhi penjualan produk Ajinomoto. Mereka memperkirakan bahwa masyarakat belum mengetahui perintah tersebut.
Peristiwa ini merupakan hal yang menarik untuk
diamati, karena dengan melihat sisi ilmiah saja suatu produk sulit untuk
ditetapkan halal haramnya. Akan tetapi dengan dukungan dari sisi syar'i, akan
jelas mana yang haram dan halal. Sepatutnyalah apabila lembaga ilmiah terus
bekerja sama dengan lembaga syar'i dalam melihat masalah Ajinomoto ini.
Sumber :
http://media.isnet.org/islam/Etc/TetapHaram.html,
http://news.liputan6.com/read/5971/prof-aisjah-girindra-ada-unsur-kesengajaan-di-kasus-ajinomoto
CONTOH KASUS
HUKUM EKONOMI MENGENAI “KENAIKAN BBM”
Pengurangan subsidi BBM sudah dibahas sejak tiga tahun lalu, dengan
harapan akan segera dapat direalisir agar dana subsidi bisa dialihkan ke sektor
lain yang tak kalah penting.
Namun
tarik-menarik isu politik, kepentingan usaha dan tekanan publik, membuat ide
ini sangat sulit diwujudkan. Salah satu masalah terbesar yang muncul dari dinaikkannya
harga BBM adalah kekhawatiran akan terhambatnya pertumbuhan ekonomi karena
dampak kenaikan harga barang dan jasa yang terjadi akibat komponen biaya yang
naik. Inflasi tidak mungkin dihindari karena BBM adalah unsur vital dalam
proses produksi dan distribusi barang, kata peneliti dan direktur lembaga
kajian migas Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto. Tetapi menaikkan harga
BBM juga tak bisa dihindari karena beban subsidi membuat negara sulit melakukan
investasi bidang lain untuk mendorong tumbuhnya ekonomi.
"Kenaikan harga BBM sampai
dengan Rp1.500 akan mengakibatkan inflasi bertumbuh 1,6%, tetapi juga akan
mengakibatkan reduksi subsidi sebesar Rp57 triliun," kata Pri. Jika
hitungan itu jadi nyata maka menurut Pri, inflasi tidak akan bergeser terlalu
tinggi dibanding target yang dipatok pemerintah untuk tahun ini, 5,3%. "Tahun
lalu inflasi diklaim pemerintah hanya di kisaran 4%-an, tetapi itu kan hasil
dari subsidi yang sangat besar, inflasi semu. Kalau sekarang subsidi dikurangi
terjadi inflasi, ya sama saja kan," tukasnya.
Inflasi
lebih tinggi
Sejumlah
pengamat ekonomi lain berpandangan mirip. "Industri makan-minum
membutuhkan BBM untuk produksi, distribusi dan bahan baku. Kenaikan BBM
setinggi Rp1.500 akan menyebabkan kenaikan harga pangan sedikitnya
5-10%."Adhi S Lukman,Enny Sri Hartati, Direktur INDEF, lembaga analisis
ekonomi, berpendapat harga BBM yang dinaikkan tidak akan mengerek inflasi
terlalu tinggi apalagi menyebabkan guncangan ekonomi. "Hitungan kami cuma
2,2%. Yang jadi faktor pemberat itu adalah proses pengambilan keputusan yang
bertele-tele sehingga ekspektasi inflasi malah jauh lebih tinggi dari yang
sesungguhnya,"kata Enny. Akibatnya, dari simulasi kasar yang dilakukan
INDEF, inflasi tahun ini bisa meroket hingga 8%, meski 'tidak akan mencapai dua
digit'.Ekonomi dari berbagai lembaga lain, termasuk sejumlah bank swasta hingga
Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik, umumnya meramal inflasi akan mencapai
6-8%, melebihi target pemerintah tahun ini 5,3%.
Ongkos
naik
Sejumlah komponen
penyumbang utama kenaikan inflasi, di luar naiknya harga BBM, adalah harga
makanan-minuman serta tarif transportasi. Keduanya mengklaim BBM sebagai salah
satu elemen utama, bahkan terbesar, dalam komponen ongkos produksi dan
distribusi. "Industri makan-minum membutuhkan BBM untuk produksi,
distribusi dan bahan baku. Kenaikan BBM setinggi Rp1.500 akan menyebabkan
kenaikan harga pangan sedikitnya 5-10%," kata Adhi S Lukman, Ketua
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia, GAPPMI. Beberapa
tahun terakhir dunia industri sudah tak lagi menikmati subsidi BBM, tetapi
menurut Adhi, naiknya harga minyak dunia juga menjadi pendongkrak meroketnya
ongkos produksi. "Ya kami kan harus menyesuaikan harga juga
akhirnya," kilah Adhi. Meski terbilang besar, kenaikan ini menurutnya jauh
lebih ringan dari pada situasi tahun 2008, saat harga BBM juga naik hingga
Rp6.000.
"Saat itu situasi global sedang
diguncang krisis pangan, jadi harga makanan-minuman tidak terkendali. Harganya
naik sampai 15-30%," tambahnya. Momok kenaikan harga lain muncul dari
sektor transportasi, yang selalu menaikkan tarif saat kenaikan harga BBM
terjadi. Dengan
harga BBM naik 33%, menurut Soedirman, kenaikan tarif angkutan yang masuk akal
adalah 35%, tuntutan yang menurut Menteri Koordinator Perekonomian Hatta
Radjasa "terlalu besar dan harus dirundingkan kembali'.
Menurut
Hatta, kenaikan tarif angkutan masuk akal bila tak lebih dari 10-20%. Tetapi
menurut Soedirman, hitungan itu justru tak bernalar. "Itulah kalau tak
paham soal angkutan tapi berkomentar. Bagaimana pengusaha (angkutan) dituntut
peremajaan, memberi layanan yang safety dan nyaman, kalau tarifnya
selalu murah?" kritik Soedirman pedas. Sampai kini, tarif angkutan menyesuaikan dengan penaikan harga
BBM baru, belum lagi dibicarakan antara Organda dengan pemerintah.
Subsidi sejati
Apapun
pertimbangan menaikkan harga BBM, bagi kalangan miskin atau nyaris miskin,
impliaksinya hanya satu: kenaikan harga kebutuhan pokok. "Belum karuan
naik aja, sudah pada naik semua, sembako dan lain-lain. Orang gaji naik cuma
10-20% ini malah lebih," protes Suryati, seorang buruh anggota Federasi
Serikat Pekerja Metal Seluruh Indonesia, FSPMI asal Bekasi, yang pekan lalu
turut berdemo ke depan Istana Merdeka.Buruh lain, seperti Freddy yang datang
dari Pasar Minggu, kurang lebih mengeluhkan hal yang sama."Enggak mungkin
dalam kondisi begini naikin harga BBM, karena gaji buruh juga belum
mencukupi."Sebaliknya menurut pemerintah, tak mungkin kas negara
terus-menerus dipakai untuk menambal subsidi BBM karena sektor lain menjadi
terbengkalai.
Menurut
catatan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, tahun lalu besaran subsidi
kesehatan hanya Rp43,8 triliun, infrastruktur Rp125,6 triliun, bantuan sosial
Rp70,9 triliun, sementara subsidi BBM menyedot dana paling besar, Rp165,2
triliun. Padahal itu belum termasuk subsidi listrik yang berjumlah Rp90
triliun, sehingga secara total subsidi energi APBN 2011 mencapai Rp255 triliun.
Realisasi subsidi BBM juga cenderung membengkak dari angka acuan karena
konsumsi BBM yang tak terkendali.
Tahun
2010 misalnya, subsidi BBM yang mestinya habis pada hitungan Rp69 triliun
kemudian membesar menjadi Rp82,4 triliun. Hal sama terulang pada 2011 dimana
anggaran subsidi Rp96 triliun kemudian bengkak menjadi hampir dua kali, yakni
Rp165,2 triliun.
Akibatnya kesempatan berinvestasi dalam
bentuk infrastruktur dan pembangunan nonfisik, termasuk kesehatan dan
pendidikan, menjadi lebih sedikit. Pengurangan subsidi BBM, menurut pemerintah,
akan dialihkan sebagian pada program infratsruktur, meski belum jelas apa saja
bentuknya dan bagaimana realisasinya. Enny Sri Hartati dari INDEF menilai
situasi ini sangat tak adil bagi kelompok miskin. "Katanya subsidi untuk
kaum miskin. Padahal pengertian miskin menurut BPS kan mereka yang tak mungkin
punya motor atau mobil, karena pendapatannya hanya Rp300 ribu (per
bulan),"tegas Enny. Pengurangan subsidi BBM, menurut Enny, bisa lebih
tepat sasaran kalau kemudian diarahkan pada pembangunan infrastruktur atau
program pengentasan kemiskinan lain.
"Itu makna subsidi yang sejati;
kembalikan kepada kelompok yang paling miskin, 30 jutaan lho
jumlahnya."
Sumber :http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2012/03/120327_fuelhikeeconomicalimpact.shtml,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar